Sabtu, 29 Juni 2013

Hakikat Manusia


Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia , yakni: (1) Manusia sebagai mahluk pribadi/individu, (2) Manusia sebagai mahluk sosial ,(3) manusia sebagai mahluk susila / moral.
Ketiga hakekat manusia tersebut diatas dapat dijabarkan sebagai berikut :
Manusia sebagai mahluk individu (individual being)
            Kesadaran manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan individukualitas manusia. Kesadaran diri sendiri yang dimulai dengan kesadaran pribadi diantara segala kesadaran terhadap segala sesuatu. Dengan bahasa filsafat dinyatakan eksistensi ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi kesadaran adanya diri diantara semua realita , self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisation.
Manusia sebagai individu, sebagai pribadi adalah suatu kenyataan yang paling riel dalam kesadaran manusia. Malahan ada kecenderungan bahwa manusia menganggap pusat orientasi, melalui introspeksi (istilah dalam ilmu jiwa) adalah dirinya sendiri seagai subjek. Orientasi berfikir demikian malahan diakui oleh filsafat existensialisme dan anthroppsentrisme secara tak langsung.
Makin manusia sadar akan dirinya sendiri sesungguhnya manusia makin sadar akan kesemestaan, karena posisi manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari semesta. Antar hubungan dan interaksi pribadi itulah pula yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti hak azasi dan kewajiban, norma-norma moral, nilainilai social, bahkan juga nilai-nilai supernatural berfungsi untuk manusia.
Dengan demikian kesadaran manusia sebagai pribadi merupakan kesadaran yang paling dalam , sumber kesadaran subjek yang melahirkan  kesadaran yang lain.
Manusia sebagai mahluk individu , dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan manusia sebagai mahluk pribadi. Dalam bahasa Inggris kedua istilah itu dibedakan, yakni dengan individuality dan personality.
Makna individulitas menurut Allport, menunjukkan wujud berdiri sendiri dan sifat otonom, serta sifat unik (uniquessnes) tiap pribadi (personality). Dan makna personality ialah what a man reality is dan bagaimana manusia itu dalam antar hubungan dan antaraksi dengan lingkungannya. Personality juga berarti keseluruhan sifat dan keseluruhan fase perkembangan manusia.
Yang dimaksud oleh kesimpulan pertama antropologia metafisika manusia untuk manusia sebagai mahluk individu, dapat kita tafsirkan sebagai meliputi kedua makna tersebut. Manusia sebagai self existence dan self consciousness menyadari dirinya  sebagai realself, sebagaimana adanya: bahkan juga sebagaimana idelnya (keinginan dan cita‑citanya) yang mendorong perkembangan manusia.
Manusia sebagai individu memiliki hak azasi sebagai kodrat alami atau sebagai anugerah Tuhan kepadanya. Hak asasi sebagai pribadi itu terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Dan karena manusia menyadari adanya hak asasi itu pulalah manusia menyadari bahwa konsekunsi dari hal-hal tersebut manusia mengemb­an kewajiban dan tangung jawab sosial dan tanggung jawab moral. Dalam hubungan inilah hal status individualisme manusia menduduki fungsi primer.
Tetapi hal tersebut  tidaklah tanpa konsekuensi logis yang bersifat wajar dan alamiah pula. Tiap-tiap hal melahirkan kewajiban. Dalam mengemban kewajiban ini, maka status manusia sebagai mahluk  social adalah primer, utama. Sebab tanpa penunaian kewajiban, martabat manusia menjadi merosot sebagai manusia. Oleh karena itu integritas manusia sebagai mahluk social.
Manusia sebagai mahluk sosial
Self existence, kesadaran diri sendiri membuka kesadaran atas segala sesuatu sebagai realita di samping realita subjek, meskipun diri kita secara pribadi adalahsubjek yang menyadari namun diri kita bukanlah pusat dari segala realita.
Sebab  kedudukan  pribadi mempunyai martabat kemanu­sian (human dignity) yang sederajat maka wajarlah bahwa kita menghormati setiap pribadi. Untuk dihormati sebagai pribadi adalah hak kita dan  seiap orang. Sebaliknya untuk menghormati setiap pribadi adalahkewajiban kita dan setiap pribadi lain
Perwujudan manusia sebagai mahluk sosial terutama tampak dalam kenyataan bahwa tak pernah ada manusia yang mampu hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain. Orang lain dimaksud paling sedikit adalah orangtuanya, keluarganya sendiri. Realita ini menunjukkan bahwa manusia hidup pada kondisi interdependensi dalam antar hubungan dan antaraksi Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, warga negara. Warga suatu kelompok kebudayaan. Warga suatu aliran  kepercayaan warga suatu ideologi politik dan sebagainya.
Manusia sebagai mahluk sosial di samping berarti bahwa manusia hidup bersama (germinschafts), kebersamaan), maka sifat independensi dalam arti material‑ekonomis demi kebutuhan‑kebutuhan biologis jasmaniah melainkan lebih‑lebih mengandung makna psikologis . yakni dorongan‑dorongan cinta dimana  kebahagiaan terutama  tercetak dalam kepuasan rohani.
Hidup dalam antar Hubungan antaraksi dan interdependensi itu mengandung pula konsekuensi‑konsekuensi social baik dalam arti positif maupun negatif. Ideal dalam hidup bersama itu ialah keadaan harmonis, rukun dan sejahtera. Tetapi dapat pula sebagai hubungan dan antaraksi itu dapat terjadi dalam kehidupan sosial. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dan nilai-nilai dan sekaligus watak individualitas manusia akibat pergeseran‑pergeseran yang tajam dan bahkan mungkin pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam proses antar hubungan dan antaraksi sosial karena sifat‑sifat individualitas manusia. Mengenai hal ini secara mendalam oleh tiap‑tiap pribadi dapat meng­hindarkan disharmoni itu. Tiap individu  harus rela mengorbankan sebagi­an dari hak individualitasnya demi kepentingan bersama. Kesadaran demikian adalah prasyarat bagi hidup bersama.
Kehidupan di dalam antar hubungan dan antaraksi sosial memang tidak usah kehilangan  identitasnya. Sebab kehidupan sosial adalah realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu sendiri.
Urgensi kedua‑duanya harus dimengerti dalam proporsi masing-masing Kehidupan social yang besar, banyak warganya meliputi semua individu dengan berbagai latar belakang status, minat,  nilai‑nilai dan sebagainya.  Kehidupan sosial adalahrealita dimana individu tiada menonjolkan identitasnya, melainkan sebaliknya kebersamaan  ialah  identitas, dengan sifat pluralistis. Dalam hidup bersama apakah itu lembaga‑lembaga masyarakat ataupun negara, maka identitas kebersamaan itu  mengatasi identitas individu.
Akan tetapi meskipun demikian  tidaklah berarti individu sudah lenyap, lebur di dalam identitas sosial itu. Realita sosial kebersamaan itu tidak hanya terbentuk oleh individu-individu. Bahkan integritas social itu akan goyah bilamana hak‑hak individu diperkosa. Individualitas manusia bukanlah bertentangan dengan wujud sosialitas manusia. Melainkan individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran sosialitasnya. Tiap manusia sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.
Sebaliknya, kesadaran manusia sebagai mahluk sosial justru harus memberi rasa tanggung jawab untuk mengayomi individu yang lebih “lemah” daripada wujud sosial yang “besar” dan “kuat”. Kehidupan sosial kebersamaan baik  itu bentuk-bentuk non-formal (masyarakat) maupun dalam bentuk‑bentuk formal (institusi /negara) dengan wibawanya wajib mengayomi individu.
Asas sosial dalam kodrat manusia, seperti juga asasindividualitas adalahpotensi‑potensi, yang baru menjadi realita karena kondisi‑kondisi tertentu. Ini berarti bahwa pelaksanaan kesadaran sosial manusia hanya oleh kondisi itu sendiri. Artinya, jika di dalam. hidup kebersamaan (sosial) itu individu kehilangan individualitasnya (hak-­hak asasi), maka potensi kesadaran sosial manusia menjadi tidak maksimal. Dan jika ada pelaksanaannya tidak wajar, melainkan karena otoritas, paksaan dari luar. Bukan didorong oleh hasrat dan motif pengabdian yang  alturis. Individualitas manusia dengan potensi-potensi subjek (prakarsa, rasa,karsa,cipta,karya) takkan berkembang jika otoritas sosial justru tidak bersifat menunjang realisasi itu.
Esensia manusia sebagai mahluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang siapa dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaraan interpedensi dan saling membutuhkan serta dorongan‑dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu.
Manusia sebagai mahluk susila (moral being)
Pribadi manusia yang bidup bersama itu melakukan hubungan dan antaraksi baik langsung maupun tidak langsung . Di dalam proses antar hubungan dan antaraksi itu tiap pribadi membawa identitas, kepribadian masing‑masing. Oleh karena itu keadaan yang cukup heterogen akan terjadi sebagai konsekuensi tindakan‑tindakan masing‑masing pribadi.
Keadaan interpredensi kebutuhan manusia lahir batin yang tiada  batasnya akan berlangsung terus-menerus secara kontinyu. Dan keterti­ban, kesejahteraan manusia, maka di dalam masyarakat  ada nilai-nilai, norma-norma.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk  susila bersumber pada kepercayaan bahwa  budi nurani manusia secara a priori adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat  pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut  das Uber Ich yang sadar nilai‑nilai esensia manusia sebagai mahluk susila. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial  sebab justru adanya nilai-nilai, efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah dalam kehidupan social. tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral. Atau dengan kata‑kata “Tiada hubungan social tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan social”. Hubungan  sosial harus dimaknai dalam makna  luas dan hakiki. Yakni hubungan social horizontal ialah hubungan sesama antar manusia. Dan hubungan social – vertical yaitu hubungan pribadi dengan Tuhan.  Hubungansosial vertikal  bersifat transcendental sering disebut  hubungan rokhaniah pribadi. Akan tetapi kedua antar hubungan social tersebut sama‑sama riel di dalam kehidupan manusia, keduanya pasti dialami semua  manusia. Hubungan sosial  sering disebut hubungan religius yang dianggap hubungan pribadi dan bersifat perseorangan bukan masalah sosial.
 Hubungan sosial horisontal ialah  hubungan sosial dalam arti biasa, maksimal  ialah pada taraf etis atau kesusilaan  (etika, nilai-nilai filsafat, adat-istiadat., hukum). Tetapi yang jelas semua nilai-nilai itu, atau prinsip pembinaan kesadaran asas normative itu menjadi kewajiban utama pendidikan. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yang membedakan hidup manusia dari hidup mahluk-mahluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu. Dan bila moralitas ditafsirkan meliputi nilai-nilai religius, maka rasio budi nurani akan dilengkapi pula dengan kesadaran-kesadaran supernatural yang super rasional.
Ketiga esensia tersebut di atas dikatakan sebagai satu kesatuan integritas adalah kodrat hakekat manusia secara potensial artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi-potensi tersebut dapat berkembang menjadi realita (aktualisasi) atau sebaliknya tidak terlaksana. Inilah sebabnya ada criteria di dalam masyrakat antara pribadi yang baik, yang ideal, dengan pribadi yang di anggap buruk atau asusila, tingkah laku yang kurang dikehendaki. (Noor Syam, 1984 : 169-196)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar