Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral
dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia , yakni: (1) Manusia
sebagai mahluk pribadi/individu, (2) Manusia sebagai mahluk sosial ,(3) manusia
sebagai mahluk susila / moral.
Ketiga hakekat manusia tersebut diatas dapat dijabarkan
sebagai berikut :
Manusia sebagai mahluk individu (individual being)
Kesadaran
manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan individukualitas manusia.
Kesadaran diri sendiri yang dimulai dengan kesadaran pribadi diantara segala
kesadaran terhadap segala sesuatu. Dengan bahasa filsafat dinyatakan eksistensi
ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi kesadaran adanya diri
diantara semua realita , self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat
kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran
akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisation.
Manusia sebagai individu, sebagai pribadi adalah suatu
kenyataan yang paling riel dalam kesadaran manusia. Malahan ada kecenderungan
bahwa manusia menganggap pusat orientasi, melalui introspeksi (istilah dalam
ilmu jiwa) adalah dirinya sendiri seagai subjek. Orientasi berfikir demikian
malahan diakui oleh filsafat existensialisme dan anthroppsentrisme secara tak
langsung.
Makin manusia sadar akan dirinya sendiri sesungguhnya
manusia makin sadar akan kesemestaan, karena posisi manusia adalah bagian yang
tak terpisahkan dari semesta. Antar hubungan dan interaksi pribadi itulah pula
yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti hak azasi dan kewajiban,
norma-norma moral, nilainilai social, bahkan juga nilai-nilai supernatural
berfungsi untuk manusia.
Dengan demikian kesadaran manusia sebagai pribadi merupakan
kesadaran yang paling dalam , sumber kesadaran subjek yang melahirkan
kesadaran yang lain.
Manusia sebagai mahluk individu , dalam bahasa Indonesia
dapat diterjemahkan manusia sebagai mahluk pribadi. Dalam bahasa Inggris kedua
istilah itu dibedakan, yakni dengan individuality dan personality.
Makna individulitas menurut Allport, menunjukkan wujud
berdiri sendiri dan sifat otonom, serta sifat unik (uniquessnes) tiap
pribadi (personality). Dan makna personality ialah what a man
reality is dan bagaimana manusia itu dalam antar hubungan dan antaraksi
dengan lingkungannya. Personality juga berarti keseluruhan sifat dan
keseluruhan fase perkembangan manusia.
Yang dimaksud oleh kesimpulan pertama antropologia
metafisika manusia untuk manusia sebagai mahluk individu, dapat kita tafsirkan
sebagai meliputi kedua makna tersebut. Manusia sebagai self existence dan self
consciousness menyadari dirinya sebagai realself, sebagaimana
adanya: bahkan juga sebagaimana idelnya (keinginan dan cita‑citanya) yang
mendorong perkembangan manusia.
Manusia sebagai individu memiliki hak azasi sebagai kodrat
alami atau sebagai anugerah Tuhan kepadanya. Hak asasi sebagai pribadi itu
terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Dan karena manusia menyadari
adanya hak asasi itu pulalah manusia menyadari bahwa konsekunsi dari hal-hal
tersebut manusia mengemban kewajiban dan tangung jawab sosial dan tanggung
jawab moral. Dalam hubungan inilah hal status individualisme manusia menduduki
fungsi primer.
Tetapi hal tersebut tidaklah tanpa konsekuensi logis
yang bersifat wajar dan alamiah pula. Tiap-tiap hal melahirkan kewajiban. Dalam
mengemban kewajiban ini, maka status manusia sebagai mahluk social adalah
primer, utama. Sebab tanpa penunaian kewajiban, martabat manusia menjadi
merosot sebagai manusia. Oleh karena itu integritas manusia sebagai mahluk
social.
Manusia sebagai mahluk sosial
Self existence, kesadaran diri sendiri membuka kesadaran
atas segala sesuatu sebagai realita di samping realita subjek, meskipun diri
kita secara pribadi adalahsubjek yang menyadari namun diri kita bukanlah pusat
dari segala realita.
Sebab kedudukan pribadi mempunyai martabat
kemanusian (human dignity) yang sederajat maka wajarlah bahwa kita menghormati
setiap pribadi. Untuk dihormati sebagai pribadi adalah hak kita dan seiap
orang. Sebaliknya untuk menghormati setiap pribadi adalahkewajiban kita dan
setiap pribadi lain
Perwujudan manusia sebagai mahluk sosial terutama tampak
dalam kenyataan bahwa tak pernah ada manusia yang mampu hidup (lahir dan proses
dibesarkan) tanpa bantuan orang lain. Orang lain dimaksud paling sedikit adalah
orangtuanya, keluarganya sendiri. Realita ini menunjukkan bahwa manusia hidup
pada kondisi interdependensi dalam antar hubungan dan antaraksi Di dalam
kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan
hidup, warga masyarakat, warga negara. Warga suatu kelompok kebudayaan. Warga
suatu aliran kepercayaan warga suatu ideologi politik dan sebagainya.
Manusia sebagai mahluk sosial di samping berarti bahwa
manusia hidup bersama (germinschafts), kebersamaan), maka sifat
independensi dalam arti material‑ekonomis demi kebutuhan‑kebutuhan biologis jasmaniah
melainkan lebih‑lebih mengandung makna psikologis . yakni dorongan‑dorongan
cinta dimana kebahagiaan terutama tercetak dalam kepuasan rohani.
Hidup dalam antar Hubungan antaraksi dan interdependensi itu
mengandung pula konsekuensi‑konsekuensi social baik dalam arti positif maupun
negatif. Ideal dalam hidup bersama itu ialah keadaan harmonis, rukun dan
sejahtera. Tetapi dapat pula sebagai hubungan dan antaraksi itu dapat terjadi
dalam kehidupan sosial. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dan
nilai-nilai dan sekaligus watak individualitas manusia akibat pergeseran‑pergeseran
yang tajam dan bahkan mungkin pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam
proses antar hubungan dan antaraksi sosial karena sifat‑sifat individualitas
manusia. Mengenai hal ini secara mendalam oleh tiap‑tiap pribadi dapat menghindarkan
disharmoni itu. Tiap individu harus rela mengorbankan sebagian dari hak
individualitasnya demi kepentingan bersama. Kesadaran demikian adalah prasyarat
bagi hidup bersama.
Kehidupan di dalam antar hubungan dan antaraksi sosial
memang tidak usah kehilangan identitasnya. Sebab kehidupan sosial adalah
realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu sendiri.
Urgensi kedua‑duanya harus dimengerti dalam proporsi
masing-masing Kehidupan social yang besar, banyak warganya meliputi semua
individu dengan berbagai latar belakang status, minat, nilai‑nilai dan
sebagainya. Kehidupan sosial adalahrealita dimana individu tiada
menonjolkan identitasnya, melainkan sebaliknya kebersamaan ialah
identitas, dengan sifat pluralistis. Dalam hidup bersama apakah itu lembaga‑lembaga
masyarakat ataupun negara, maka identitas kebersamaan itu mengatasi
identitas individu.
Akan tetapi meskipun demikian tidaklah berarti
individu sudah lenyap, lebur di dalam identitas sosial itu. Realita sosial
kebersamaan itu tidak hanya terbentuk oleh individu-individu. Bahkan integritas
social itu akan goyah bilamana hak‑hak individu diperkosa. Individualitas
manusia bukanlah bertentangan dengan wujud sosialitas manusia. Melainkan
individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran
sosialitasnya. Tiap manusia sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah
masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.
Sebaliknya, kesadaran manusia sebagai mahluk sosial justru
harus memberi rasa tanggung jawab untuk mengayomi individu yang lebih “lemah”
daripada wujud sosial yang “besar” dan “kuat”. Kehidupan sosial kebersamaan
baik itu bentuk-bentuk non-formal (masyarakat) maupun dalam bentuk‑bentuk
formal (institusi /negara) dengan wibawanya wajib mengayomi individu.
Asas sosial dalam kodrat manusia, seperti juga
asasindividualitas adalahpotensi‑potensi, yang baru menjadi realita karena
kondisi‑kondisi tertentu. Ini berarti bahwa pelaksanaan kesadaran sosial manusia
hanya oleh kondisi itu sendiri. Artinya, jika di dalam. hidup kebersamaan
(sosial) itu individu kehilangan individualitasnya (hak-hak asasi), maka
potensi kesadaran sosial manusia menjadi tidak maksimal. Dan jika ada
pelaksanaannya tidak wajar, melainkan karena otoritas, paksaan dari luar. Bukan
didorong oleh hasrat dan motif pengabdian yang alturis. Individualitas
manusia dengan potensi-potensi subjek (prakarsa, rasa,karsa,cipta,karya) takkan
berkembang jika otoritas sosial justru tidak bersifat menunjang realisasi itu.
Esensia manusia sebagai mahluk sosial ialah adanya kesadaran
manusia tentang siapa dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan
bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya
kesadaraan interpedensi dan saling membutuhkan serta dorongan‑dorongan untuk
mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu.
Manusia sebagai mahluk susila (moral being)
Pribadi manusia yang bidup bersama itu melakukan hubungan
dan antaraksi baik langsung maupun tidak langsung . Di dalam proses antar
hubungan dan antaraksi itu tiap pribadi membawa identitas, kepribadian masing‑masing.
Oleh karena itu keadaan yang cukup heterogen akan terjadi sebagai konsekuensi
tindakan‑tindakan masing‑masing pribadi.
Keadaan interpredensi kebutuhan manusia lahir batin yang
tiada batasnya akan berlangsung terus-menerus secara kontinyu. Dan
ketertiban, kesejahteraan manusia, maka di dalam masyarakat ada
nilai-nilai, norma-norma.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk susila
bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara a priori
adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila
kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das
Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang
sadar nilai‑nilai esensia manusia sebagai mahluk susila. Kesadaran susila
(sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial sebab justru
adanya nilai-nilai, efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah
dalam kehidupan social. tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral. Atau dengan
kata‑kata “Tiada hubungan social tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan
susila tanpa hubungan social”. Hubungan sosial harus dimaknai dalam
makna luas dan hakiki. Yakni hubungan social horizontal ialah hubungan
sesama antar manusia. Dan hubungan social – vertical yaitu hubungan pribadi
dengan Tuhan. Hubungansosial vertikal bersifat transcendental
sering disebut hubungan rokhaniah pribadi. Akan tetapi kedua antar
hubungan social tersebut sama‑sama riel di dalam kehidupan manusia, keduanya
pasti dialami semua manusia. Hubungan sosial sering disebut
hubungan religius yang dianggap hubungan pribadi dan bersifat perseorangan
bukan masalah sosial.
Hubungan sosial horisontal ialah hubungan sosial dalam
arti biasa, maksimal ialah pada taraf etis atau kesusilaan
(etika, nilai-nilai filsafat, adat-istiadat., hukum). Tetapi yang jelas semua
nilai-nilai itu, atau prinsip pembinaan kesadaran asas normative itu menjadi
kewajiban utama pendidikan. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar
fundamental yang membedakan hidup manusia dari hidup mahluk-mahluk alamiah yang
lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu. Dan bila
moralitas ditafsirkan meliputi nilai-nilai religius, maka rasio budi nurani
akan dilengkapi pula dengan kesadaran-kesadaran supernatural yang super
rasional.
Ketiga esensia tersebut di atas dikatakan
sebagai satu kesatuan integritas adalah kodrat hakekat manusia secara potensial
artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi-potensi tersebut
dapat berkembang menjadi realita (aktualisasi) atau sebaliknya tidak
terlaksana. Inilah sebabnya ada criteria di dalam masyrakat antara pribadi yang
baik, yang ideal, dengan pribadi yang di anggap buruk atau asusila, tingkah
laku yang kurang dikehendaki. (Noor Syam, 1984 : 169-196)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar